Belajar Etika dan Kebersamaan dari Tradisi Makan Bajamba

Berita17 Dilihat

Syarifah Nailatur Rahmah | Fakultas Ilmu Budaya | Universitas Andalas

Bagi masyarakat Minangkabau, makan bukan semata-mata aktivitas biologis untuk mengenyangkan perut. Di balik setiap hidangan, terdapat nilai, aturan, dan makna sosial yang diwariskan lintas generasi. Salah satu tradisi yang merepresentasikan pandangan tersebut adalah Makan Bajamba—sebuah praktik makan bersama yang sarat etika dan filosofi kehidupan.

Makan Bajamba umumnya dilakukan dalam berbagai peristiwa adat dan keagamaan, seperti baralek, batagak penghulu, atau peringatan hari besar Islam. Orang-orang duduk bersila mengelilingi satu jamba—wadah besar berisi aneka lauk dan nasi—lalu menyantapnya secara bersama-sama.

Tidak ada meja makan, tidak ada kursi empuk, hanya kebersamaan yang terjalin dalam lingkaran sederhana.
Namun, kesederhanaan itu tidak berarti tanpa aturan. Justru sebaliknya, Makan Bajamba memiliki tata cara yang ketat dan penuh makna. Posisi duduk diatur berdasarkan usia dan peran sosial.

Orang yang lebih tua didahulukan, sementara yang muda belajar menyesuaikan diri. Cara mengambil lauk, kecepatan makan, hingga sikap tubuh menjadi bagian dari etika yang harus dijaga.

Di sinilah nilai pendidikan sosial bekerja secara halus namun efektif. Anak-anak dan generasi muda tidak diajari etika melalui ceramah panjang, melainkan melalui pengalaman langsung. Mereka belajar menahan diri, tidak rakus, tidak mendahului, serta menghormati ruang bersama. Nilai-nilai tersebut tertanam melalui kebiasaan yang berulang, bukan paksaan.

Lebih jauh, Makan Bajamba juga mengajarkan konsep kesetaraan. Semua orang makan dari wadah yang sama, dengan jenis hidangan yang sama pula. Status sosial, jabatan, maupun kondisi ekonomi seolah melebur dalam satu lingkaran kebersamaan. Pesan yang disampaikan sederhana, tetapi kuat: di hadapan kebersamaan, semua orang setara.

Tradisi ini sekaligus menjadi cermin filosofi Minangkabau yang menjunjung tinggi musyawarah dan kolektivitas. Duduk melingkar bukan sekadar posisi fisik, melainkan simbol bahwa setiap orang berada dalam satu kesatuan, saling terhubung, dan saling bergantung satu sama lain.

Dalam konteks kehidupan modern, khususnya di kalangan mahasiswa dan generasi muda, nilai-nilai Makan Bajamba terasa semakin relevan. Gaya hidup serba cepat, individualistis, dan berbasis gawai sering kali membuat interaksi sosial menjadi dangkal. Makan bersama pun kerap kehilangan maknanya, berubah menjadi aktivitas sambil lalu.

Makan Bajamba menawarkan cara pandang alternatif: bahwa kebersamaan membutuhkan kehadiran penuh, kesadaran, dan rasa saling menghormati. Ia mengajarkan bahwa makan bisa menjadi ruang dialog, pembelajaran, dan penguatan hubungan sosial.

Pelestarian tradisi ini tentu tidak harus selalu diwujudkan dalam bentuk adat yang kaku atau seremoni besar. Yang terpenting adalah menjaga nilai-nilai yang dikandungnya tetap hidup dalam praktik sehari-hari—berbagi makanan, menghormati orang lain, dan menempatkan kebersamaan di atas ego pribadi.

Pada akhirnya, Makan Bajamba bukan hanya warisan budaya Minangkabau, melainkan pelajaran sosial yang relevan lintas zaman. Di tengah dunia yang semakin terfragmentasi, tradisi ini mengingatkan kita bahwa kebersamaan, etika, dan rasa saling menghargai adalah fondasi penting dalam kehidupan bermasyarakat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *