Reses DPR RI, Cindy Monika Tegaskan Negara Wajib Lindungi Saksi dan Korban Tindak Pidana

Berita35 Dilihat

PD. PARIAMAN | Ketakutan saksi dan korban untuk bersuara masih menjadi tembok tebal yang menghambat tegaknya keadilan di Indonesia. Ancaman, tekanan sosial, hingga intimidasi kerap membuat korban memilih diam, sementara pelaku kejahatan tetap bebas berkeliaran. Persoalan krusial inilah yang mengemuka dalam kegiatan Sosialisasi Urgensi Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana pada agenda reses Anggota DPR RI, Cindy Monika Salsabila Setiawan, Jumat (19/12/2025).Kegiatan yang digelar di Aula Rumah Makan Samba Lado, Kota Pariaman, menghadirkan Wakil Ketua LPSK Susilaningtias, SH, MH, serta dihadiri Sekretaris Daerah Kota Pariaman Afrizal Azhar, perwakilan Dandim 0308 Pariaman, unsur Fraksi Partai NasDem kabupaten/kota se-Pariaman, tokoh masyarakat, dan peserta reses dari berbagai latar belakang.

Dalam sambutannya, Cindy Monika menegaskan bahwa keadilan tidak akan pernah berdiri kokoh jika saksi dan korban terus hidup dalam bayang-bayang ancaman. Menurutnya, keberanian warga untuk bersaksi adalah fondasi utama penegakan hukum, namun keberanian itu mustahil tumbuh tanpa jaminan perlindungan nyata dari negara.

“Banyak perkara pidana mandek karena saksi takut berbicara. Di sinilah negara harus hadir, memastikan keselamatan, hak, dan masa depan saksi serta korban,” tegas Cindy di hadapan peserta.

Cindy mengungkapkan, berdasarkan Statistik Kriminal BPS 2024, jumlah tindak pidana nasional melonjak drastis dari 372.900 kasus pada 2022 menjadi 584.991 kasus pada 2023. Lonjakan tersebut sekaligus meningkatkan risiko masyarakat menjadi korban kejahatan, baik kekerasan fisik, seksual, maupun kejahatan lainnya.

Ironisnya, dari ratusan ribu kasus tersebut, hanya sebagian kecil korban yang mengakses perlindungan melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Kondisi ini menunjukkan masih lemahnya pemahaman publik, rendahnya keberanian melapor, serta keterbatasan jangkauan sistem perlindungan yang ada.

“Perlindungan saksi dan korban bukanlah belas kasihan negara. Itu adalah hak konstitusional warga negara,” ujar Cindy dengan nada tegas.

Dalam forum tersebut, Cindy juga memaparkan bahwa DPR RI tengah membahas RUU Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025. Revisi ini dinilai sangat fundamental karena akan mengubah lebih dari 50 persen substansi undang-undang.

Perubahan tersebut mencakup pergeseran paradigma sistem peradilan dari retributive justice menuju restorative dan rehabilitative justice, serta memperluas subjek perlindungan, termasuk pelapor, justice collaborator, dan ahli. Dalam konsep baru ini, saksi dan korban tidak lagi diposisikan sekadar alat bukti, melainkan subjek utama yang hak-haknya wajib dilindungi dan dipulihkan.

“Saksi dan korban harus ditempatkan sebagai manusia yang memiliki hak, martabat, dan masa depan, bukan sekadar pelengkap berkas perkara,” jelasnya.

Secara khusus, Cindy menyoroti tingginya angka kekerasan seksual di Kota dan Kabupaten Padang Pariaman. Sepanjang Januari hingga Oktober 2025, tercatat lebih dari 50 perempuan dan anak menjadi korban, dengan mayoritas pelaku berasal dari lingkar terdekat korban sendiri. Fakta ini memperparah trauma korban karena kejahatan justru terjadi di ruang yang seharusnya paling aman.

Tak hanya mengalami luka fisik dan psikis, banyak korban juga harus menghadapi tekanan sosial, pengucilan, bahkan ancaman putus sekolah. Stigma dan budaya menyalahkan korban masih kuat mengakar di tengah masyarakat.

“Korban bukan hanya menderita karena kejahatan, tetapi juga dikucilkan oleh lingkungannya. Inilah bukti bahwa negara harus hadir lebih kuat dan lebih tegas,” katanya.

Sementara itu, Wakil Ketua LPSK Susilaningtias, SH, MH menegaskan bahwa saksi dan korban tidak perlu merasa sendirian. Negara, melalui LPSK, telah menyiapkan berbagai bentuk perlindungan, mulai dari kerahasiaan identitas, pengamanan fisik, bantuan medis dan psikologis, hingga kompensasi dan restitusi.

“Keberanian saksi dan korban adalah kunci terbukanya kebenaran. LPSK hadir untuk memastikan mereka tidak berjalan sendirian,” ujarnya.

Ia mengakui tantangan terbesar saat ini adalah stigma sosial dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang mekanisme perlindungan. Banyak korban memilih diam karena takut diintimidasi, dikriminalisasi balik, atau dipersalahkan atas peristiwa yang menimpanya.

Kegiatan sosialisasi berlangsung dinamis dan interaktif. Peserta aktif mengajukan pertanyaan kritis terkait prosedur perlindungan, peran LPSK, serta jaminan keamanan bagi pelapor. Antusiasme tersebut mencerminkan tingginya kebutuhan masyarakat akan edukasi hukum yang menyentuh persoalan nyata di lapangan.

Menutup kegiatan, Cindy Monika kembali menegaskan komitmennya di DPR RI untuk terus mendorong penguatan regulasi dan dukungan anggaran bagi perlindungan saksi dan korban. Baginya, tanpa perlindungan yang kuat, hukum hanya akan menjadi teks normatif yang jauh dari rasa keadilan.

“Tanpa perlindungan saksi dan korban, keadilan hanya akan menjadi slogan,” pungkasnya.

 

Catatan Redaksi:
Perlindungan saksi dan korban merupakan pilar utama dalam sistem penegakan hukum yang adil dan beradab. Negara berkewajiban menjamin rasa aman, memulihkan hak, serta menghapus stigma terhadap korban agar keberanian untuk bersuara tidak berujung pada penderitaan baru.

Jeff

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *