OIC Youth Indonesia Dorong Solidaritas Lintas Bangsa di Hari Perdamaian Internasional

Berita118 Dilihat

Jakarta, 21 September 2025 | Bertepatan dengan peringatan International Day of Peace, OIC Youth Indonesia menyelenggarakan Board Meeting and Policy Roundtable Discussion on Humanitarian Issues dengan tema “Understanding Beyond Borders: Building Solidarity Across the Ummah and the World” di Jakarta, Minggu (21/9).

Kegiatan ini dihadiri oleh jajaran pengurus OIC Youth Indonesia bersama para aktivis Muslim lainnya yang memiliki kepedulian terhadap isu-isu kemanusiaan global. Hadir sebagai pembicara yakni Presiden Astrid Nadya Rizqita, Sekretaris Jenderal Adlan Athori, Wakil Presiden Yanju Sahara, dan Wakil Sekretaris Jenderal Indre Wanof.

Diskusi mengangkat sejumlah isu internasional yang masih menjadi perhatian dunia, antara lain konflik Palestina–Israel, Kashmir Pakistan–India, dinamika pasca-perang di Karabakh, serta kondisi Uyghur di Tiongkok. Selain itu, perang Rusia–Ukraina turut disorot sebagai konflik yang belum menemukan jalan penyelesaian dan memberikan dampak luas terhadap stabilitas serta kenyamanan kehidupan masyarakat global.

Dalam konteks Tiongkok, diskusi juga menyinggung perbedaan kondisi Muslim Hui dan etnis Uyghur. Muslim Hui yang lebih berasimilasi dengan masyarakat Han cenderung mendapat ruang lebih longgar, sedangkan Uyghur menghadapi represi lebih keras karena identitas etnis, bahasa, dan budaya mereka dianggap berpotensi menantang konsolidasi nasional.

Presiden OIC Youth Indonesia, Astrid Nadya Rizqita, menegaskan pentingnya momentum Hari Perdamaian Internasional untuk merefleksikan komitmen bersama. “Saat ini, permasalahan yang dihadapi dunia Islam sangat kompleks dan berlapis. Dari Palestina yang masih menghadapi pendudukan dan blokade, Kashmir yang terus terjebak dalam konflik status politik dan militerisasi, hingga tragedi kemanusiaan di Xinjiang, semuanya menunjukkan bahwa isu keadilan belum terselesaikan. Namun, kita juga dapat belajar dari proses pasca-perang di Karabakh, di mana Azerbaijan menunjukkan langkah-langkah rekonsiliasi dan pemulihan yang patut dijadikan contoh dalam resolusi konflik. Permasalahan ini bukan hanya berdampak pada negara atau wilayah tertentu, tetapi juga pada stabilitas global dan masa depan generasi muda. Karena itu, solidaritas lintas bangsa adalah kunci untuk memperjuangkan keadilan dan perdamaian yang sejati,” ujarnya.

Dalam memahami dan mencari solusi, penting bagi kita untuk merujuk pada sejarah, budaya, serta kesepakatan dan perjanjian yang telah ada, baik melalui PBB, OKI, peran contact groups, maupun forum multilateral lain, sebagai acuan upaya penyelesaian. Namun sebagai non-state actor, peran pemuda jauh lebih luas selama berada dalam koridor yang tepat. “Kita memiliki amanat dari UUD 1945 serta Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri untuk aktif berkontribusi. Artinya, diplomasi pemuda tidak hanya sah, tetapi juga strategis dalam memperkuat solidaritas lintas bangsa demi keadilan dan perdamaian sejati,” pungkasnya.

Sekretaris Jenderal, Adlan Athori, menyoroti situasi di Xinjiang. “Semenjak Xi Jinping ini menjabat menjadi PM tahun 2013, dia sangat represif kepada etnis Uyghur yang ada di Xinjiang hingga saat ini untuk membuktikan kepada dunia bahwa China adalah negara yang kuat, tidak lemah, dan mampu mengontrol setiap potensi perlawanan di dalam negeri. Langkah represif ini sejalan dengan ambisi Xi Jinping untuk merangkul dan mengonsolidasikan daerah-daerah otonomi khusus yang ada di Tiongkok, termasuk Xinjiang, Tibet, hingga Hong Kong. Dengan cara ini, Xi ingin menegaskan bahwa kedaulatan dan persatuan nasional tidak bisa diganggu gugat, meskipun hal tersebut sering kali dibayar mahal dengan pengabaian hak-hak asasi masyarakat minoritas,” tegasnya.

Ia menambahkan bahwa etnis Uyghur hingga kini masih menghadapi penindasan dalam berbagai bentuk. “Mulai dari pembatasan kebebasan beragama, pengawasan ketat terhadap aktivitas masyarakat, hingga tekanan terhadap identitas budaya dan bahasa mereka. Semua ini menunjukkan adanya upaya sistematis untuk melemahkan eksistensi Uyghur sebagai kelompok minoritas. Situasi ini jelas merupakan pelanggaran serius terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang seharusnya dijunjung tinggi,” tegas Adlan.

Wakil Presiden, Yanju Sahara, menekankan pentingnya peran pemuda. “Penting kiranya di era disrupsi ini, pemuda tetap mengedepankan critical thinking. Yaitu tetap mengasah kemampuan untuk menelaah narasi, kebijakan, dan teori internasional secara rasional, reflektif, dan terbuka terhadap perspektif berbeda. Perdamaian tidak cukup sekadar menghentikan perang, tetapi harus menciptakan keadilan sosial serta menghapus struktur dan budaya yang melanggengkan kekerasan,” jelasnya.

Wakil Sekretaris Jenderal, Indre Wanof, menambahkan pentingnya kolaborasi global. “Keamanan setiap rakyat di seluruh dunia adalah tanggung jawab kolektif kita sebagai penduduk bumi, yang memerlukan komitmen bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis. Dialog antar budaya merupakan strategi penting dalam membangun pemahaman dan toleransi, sehingga dapat mencegah konflik dan memperkuat perdamaian global,” ungkapnya.

Dalam diskusi juga ditegaskan bahwa untuk mencapai perdamaian sejati diperlukan narasi kemanusiaan, bukan narasi agama semata. Jika konflik dipandang hanya melalui identitas agama, maka akan menimbulkan jarak dan ketidakpedulian dari kelompok lain. Sebaliknya, dengan menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai dasar, solidaritas dapat terbangun lebih luas lintas bangsa, budaya, dan agama. Hal ini juga relevan untuk menghadapi tantangan global seperti Islamophobia yang marak di berbagai belahan dunia, di mana umat Islam kerap distigmatisasi secara tidak adil.

Melalui peringatan International Day of Peace ini, OIC Youth Indonesia mengajak para pemuda untuk semakin kritis, aktif, dan berkomitmen memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan universal. Solidaritas lintas bangsa diharapkan mampu memperkuat perjuangan menuju perdamaian dunia yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan mengedepankan narasi kemanusiaan, bukan narasi agama semata, agar semua pihak dapat merasa memiliki tanggung jawab yang sama.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *